Pemutaran Film IIC Cine Club

14 Jul

Italian Institute of Culture (IIC) Cine Club Jakarta kembali mengadakan acara pemutaran film-film Italia pada bulan Juli Ini. Karena posting ini terlambat, maka hanya ada dua film yang bisa diinformasikan masa pemutarannya. Bila Anda tertarik pada kebudayaaan Italia dan ingin mempelajarinya lewat film, Anda bisa ikut menyaksikannya secara gratis. Berikut jadwalnya:

iic luglio[ad#Google Adsense]

22 July 2009
OVOSODO | Paolo Virzì | 1997 | 94′

29 July 2009
L’UOMO PERFETTO | Luca Lucini | 2005 | 92′

Time: 7 pm
Place: Istituto Italiano di Cultura Jakarta
Organized by: Istituto Italiano di Cultura Jakarta
In collaboration with: –
Free Admission

When Is "Free" Going To Be Real Free?

9 Jul

free

EDITOR in Chief Wired Magazine dan penulis buku The Long Tail, Chris Anderson baru saja menerbitkan buku barunya yang berjudul Free: The Future of a Radical Price. Dalam buku barunya ini Anderson mengutarakan tesis yang menjadi kontroversial di dunia blog. Malcolm Gladwell, dalam kritiknya di The New Yorker, mengatakan bahwa Free adalah elaborasi lanjutan Anderson terhadap pernyataan Stewart Brand dalam konferensi hacker pertama pada tahun 1984: “On the one hand information wants to be expensive, because it’s so valuable. The right information in the right place just changes your life. On the other hand, information wants to be free, because the cost of getting it out is getting lower and lower all the time. So you have these two fighting against each other.”

Pokok kritik Gladwell terhadap tesis Anderson adalah kecenderungan tesis tersebut untuk melihat konten gratis sebagai sebuah hukum besi, bukan sebuah tren. Terkait dengan krisis hebat yang membuat bangkrut belasan media cetak di Amerika, menurut Gladwell, Anderson terlalu naif ketika mengatakan: “Out of the bloodbath will come a new role for professional journalists. There may be more of them, not fewer, as the ability to participate in journalism extends beyond the credentialed halls of traditional media. But they may be paid far less, and for many it won’t be a full time job at all. Journalism as a profession will share the stage with journalism as an avocation. Meanwhile, others may use their skills to teach and organize amateurs to do a better job covering their own communities, becoming more editor/coach than writer. If so, leveraging the Free—paying people to get other people to write for non-monetary rewards—may not be the enemy of professional journalists. Instead, it may be their salvation.”

Bagi Gladwell, itu sama saja Anderson mengatakan kepada semua orang di industri media cetak bahwa mereka harus menerima bahwa konten tidak akan pernah punya nilai lagi, dan mereka harus menginventarisir ulang model bisnis mereka. Padahal, Gladwell lagi, dalam logika Anderson tidak ada kejelasan yang membedakan antara “membayar orang untuk membuat orang lain bisa menulis” dengan “membayar orang untuk menulis”.

Gladwell melanjutkan bantahannya kepada Anderson dengan argumen yang diambil dari pengalaman Morning News yang terbit di Dallas dan Huffington Post ketika menjalin kerjasama dengan Amazon dalam model bisnis yang ditawarkan lewat Kindle. Logika bisnisnya adalah kalau untuk berlangganan Morning News lewat Kindle seharga 10 dolar per bulan, maka tujuh dolar akan masuk ke Amazon dan tiga dolar masuk ke kas Morning News. Plus, Amazon mengantongi hak untuk mendistribusikan konten Morning News ke berbagai piranti portable.

Arianna Huffington, pemilik The Huffington Post, mengatakan bahwa ia mengira Kindle dapat menawarkan bisnis model yang dapat menjadi solusi menyelamatkan media cetak. James Moroney, pemilik Morning News, tidak setuju dan mengatakan, “I get thirty per cent, they get seventy per cent. On top of that, they have said we get the right to republish your intellectual property to any portable device.”

Jadi, Gladwell bilang, “But information can’t actually want anything, can it? Amazon wants the information in the Dallas paper to be free, because that way Amazon makes more money. Why are the self-interested motives of powerful companies being elevated to a philosophical principle?”

Tentu saja Gladwell sendiri tidak sepi dari bantahan. Seth Godin, penulis buku Free Prize Inside dan All Marketers Are Liars, tanpa basa-basi langsung menulis di blognya – Malcolm keliru. Mengutip Godin, “We’re always going to need writers, but the business model of their platform is going to change….The reason that we needed paid contributors before was that there was only economic room for a few magazines, a few TV channels, a few pottery stores, a few of everything. In world where there is room for anyone to present their work, anyone will present their work. Editors become ever more powerful and valued, while the need for attention grows so acute that free may even be considered expensive.”

Di sela-sela debat, Fred Wilson melontarkan pendapat yang cenderung menengahi dalam artikel berjudul Freemium and Freeconomics. Wilson tidak percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dalam model bisnis gratis. Dalam hal ini, kekurangan logika dalam buku Anderson adalah penjelasan praktis dan aplikasi model bisnis gratis. Kata Wilson, “Once you have built that audience, you can deliver upsells via freemium models, you can monetize it via advertising and you can branch out into other services which are easier to monetize.” Jadi segala sesuatu yang ditawarkan dengan gratis sesungguhnya adalah strategi marketing untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang di satu medium sehingga mudah untuk ditawari hal-hal yang harus mereka bayar. Begitulah logika bisnis freemium dan freeconomics berjalan.

Bagi saya sendiri pertanyaannya adalah: bila Anderson mengajukan tesis model bisnis gratis, kapan buku barunya itu bisa diunduh secara gratis dalam format yang mudah dibaca? Bukankah seperti kata Stewart Brand: “I believe that all generally useful information should be free. By ‘free’ I am not referring to price, but rather to the freedom to copy the information and to adapt it to one’s own uses… When information is generally useful, redistributing it makes humanity wealthier no matter who is distributing and no matter who is receiving.”

Bila Anda menyukai konten-konten gratis seperti saya, marilah bersabar menunggu buku itu benar-benar bisa diunduh secara gratis, sementara terpaksa puas dengan membacanya dalam versi di bawah.

FREE (full book) by Chris Anderson

Related articles by Zemanta

Confessions of The Economic Hit Man

6 Jul

Perkins

BILA Anda penggemar teori konspirasi, buku ini bisa dipertimbangkan untuk dimiliki. Meskipun, teori konspirasi yang dikemukakan akhirnya sekedar menjadi teori yang dangkal karena kemiskinan data dan alur logika yang disampaikan oleh penulis. Analisa penulis tentang cengkeraman sebuah konsorsium korporasi terhadap dunia terasa sangat kasar. Membaca buku ini layaknya menonton film-film agen mata-mata yang miskin imajinasi tentang hubungan sebab-akibat. Konspirasi yang coba diblejeti dalam buku ini seakan-akan sudah sahih dan tidak perlu dipertanyakan lagi, semuanya disajikan secara kasar tanpa dukungan data yang memadai. (Catatan: Perkin menyederhanakan masalah metodologis bukunya ini dengan mencantumkan sekian banyak catatan akhir berupa dokumen-dokumen yang bisa Anda pelajari lebih lanjut apabila tertarik dengan masalah ini).

Pendeknya, bila Anda malas untuk mencerna secara serius kajian-kajian hubungan timpang dan eksploitatif antara negara dunia pertama dan dunia ketiga, buku ini bolehlah untuk dibaca. Tetapi, bila Anda memilih untuk membaca teori-teori yang lebih sophisticate dan kajian yang lebih mendalam, Joseph Stiglitz, David Korten, Cardoso, dll. lebih layak Anda baca.

Reblog this post [with Zemanta]

Ketika Twitter Mengalahkan CNN

15 Jun

iran-election-demoSAAT posting ini ditulis, hashtag #iranelection naik peringkat menjadi topik paling tren dalam perbincangan di twitter. Padahal sekitar jam 7 sore tadi, posisinya masih berada di bawah #musicmonday. Masalah hasil pemilihan presiden di Iran dan demonstrasi yang berlangsung mengikutinya menempatkan tiga topik dalam sepuluh topik paling tren di twitter (#iranelection di urutan pertama, tehran di urutan ketiga, dan mousavi di urutan ke tujuh). Fenomena menarik yang mengikuti adalah munculnya hashtag baru terkait dengan peran media konvensional dalam pemberitaan mereka tentang kondisi global dan, khususnya, perkembangan politik di Iran pasca pemilihan presidennya. Hashtag yang muncul adalah #CNNFail, #BBCFail, dan #MSMFail (MSM adalah mainstream media), berisi kecaman tentang kegagalan media-media mainstream dalam memberikan informasi kepada publik. Kalah dari situs-situs jaringan sosial yang menyajikan real-time conversation.



Sementara politik di Iran sedang bergejolak, sepanjang akhir pekan Howard Kurtz dari CNN melontarkan pertanyaan berapi-api kepada publik Amerika: “are we going overboard with this Twitter business?” Hal yang kemudian dikritik oleh blogger yang menggunakan nama The Cajun Boy dalam artikelnya di www.gawker.com sebagai sikap tidak peduli CNN terhadap peristiwa di seberang samudera yang sangat potensial mengubah sejarah dunia. Padahal, di lain pihak, para tweeple (pengguna twitter) melaporkan peristiwa yang sedang berlangsung di Iran sedemikian intensif.

Kritik yang tidak kalah pedas datang dari Marshall Kirkpatrick dalam ReadWriteWeb. Saat Teheran sedang bergejolak pada Sabtu kemarin (13/06), berita utama CNN.com masih soal kebingungan publik Amerika yang sedang migrasi dari TV analog ke TV digital (CNN baru mengangkat berita soal gejolah pasca pemilihan presiden di Iran pada Minggu paginya). Bagaimana mungkin sebuah jaringan berita yang terkenal karena kemampuannya menjadi terdepan dalam peliputan peristiwa-peristiwa penting di belahan dunia lain, salah satunya meliput secara langsung peristiwa di Lapangan Tiannamen, bisa gagal memanfaatkan sumber-sumber citizen journalism, laporan pandangan mata dari orang biasa yang didistribusikan lewat situs-situs jaringan sosial?

Bagaimana dengan pengguna situs jaringan sosial di Indonesia? Apakah siap mengalahkan media-media mainstream? Apakah twitter, facebook, dan situs jaringan sosial sejenis akan bisa menjadi medium perubahan di Indonesia? Related articles by Zemanta

Reblog this post [with Zemanta]

Nine ways newspapers can survive

15 Jun

I found this fascinating quote today:

Here are nine:

  • Give us content for free, that should be the first tenet of newspapers’ new business model. Put the content online and quit wasting resources on printing the darn things.
  • Provide localized (whether geographically or interest-level), personalized stories. Quit giving me articles written from the traditional third-person view that a sixth-grader could read because our world today is about you and me, not some weird narrator from “The Truman Show.” And use video to compliment your written stuff.

    Northwestern’s Medill School of Journalism seems to be heading in this direction as it trains students for a new era of newspapers. Here’s an excerpt from a “Chronicle of Higher Education” article about Northwestern’s shift (you have to, wait for it…pay to see the article, so I can’t link to it):

    “Northwestern University’s Medill School of Journalism will send student reporters out into the field with video iPods and digital camcorders, as well as spiral notebooks. The most controversial change, though, is the increased emphasis on “audience understanding.” This fall, lessons in audience behavior and motivation will be taught alongside drills in crafting leads and meeting deadlines. Students will even be encouraged to connect with readers by writing out of storefront newsrooms in diverse Chicago neighborhoods.”

  • time

  • Get rid of the editor/reporter dynamic. The people writing their stories can edit stories as well, especially in an age where a random typo isn’t a big deal. It’s casual Friday on the Web, and if your socks don’t match, it’s no big deal. So they need to quit paying all these people to follow a process they learned in J school. If fact-checking is a big deal (although I can argue it’s a little too self-important), then have writers/editors fact check each others work.
  • Break Web sites out and quit trying to throw all your content into one site. The only newspaper Web site I visit even semi-regularly is nytimes.com, and the only thing I look at is the most e-mailed stories. If the NY Times had a separate site for content I enjoy, like technology, I’d be all over it. Instead, they treat their technology coverage like a section in their newspaper. But this is a Web site. Treat it like one.
  • Go mobile. Develop a mobile application for your content so we can read your stuff on the go from our phones.
  • Go social. Allowing just comments on an article is so 2002, and many newspapers don’t even allow commenting on all their content. Use Facebook Connect, DISQUS and allow readers to create simple profiles where they can integrate social services like del.icio.us, Twitter and bit.ly.

    Newspapers still have tons of readers, just ones who want free, easy-to-access content. They should leverage their audience and build a following, a community. Give readers a chance to actually interact with the newspaper and each other one-to-one, not through an ombudsman.

  • Newspapers need to use Twitter. As I’ve written before, local officials and agencies are starting to let us know what’s going on in our communities via Twitter. If I can hear from the horse’s mouth about street closures, weather events, etc., that’s just one less reason to need newspapers. If newspapers can add immediate local news Tweets to their repertoire, though, then I have one more reason to pay attention to them.

    It’s about building a brand and a consciousness in the mind of the reader. If a newspaper tells me every time there’s a street closure, public health situation, etc., then I’m more apt to use that newspaper’s other services. Plus, have you seen the average age of Twitter users? Seems like newspapers’ demographic to me.

  • Newspapers need a sense of humor. Newspapers employ some creative people, and when they look at who to let go, they should focus most on the handful of people they have who get the vision of tomorrow’s newspaper and who possess the creative acumen for a world where you can insert a choice word into an article, make witty comments on a video or use self-deprecating humor now and then.
  • Quit calling themselves newspapers. Give up the dream. Newspapers are dead by the traditional definition and newspapers need an image change. Calling themselves something else is a good start, and they should try and be more than a blog. They can behave in some ways like blogs, even looking like some blogs, but tomorrow’s newspapers need to be labeled something that encompasses more than just articles or posts.

    Today’s newspapers need to become centers of news, entertainment and community. Give me immediate, hyper-local content on Twitter, then provide me with more complete, localized and personalized content via articles/posts, and allow me to display my other social media services on a profile for others to check out.

  • Nine ways newspapers can survive, May 2009

You should read the whole article.

Related articles by Zemanta

Reblog this post [with Zemanta]

Malini Ramani: Menyisipkan Energi Baru Pada Batik

9 Jun

MALINI RAMANI adalah seorang desainer pemberontak yang tidak kenal menyerah. Karya-karya desainnya mencerminkan pendirian dan keyakinan yang kuat – mengikuti kata hati, menerabas kelaziman dan disisipi keceriaan perayaan kehidupan. Tidak heran bila notasi fashion yang dirancangnya selalu bersifat original, meletup-letup penuh semangat dengan rampai warna dan gemerlap.
malini
Dilahirkan di New York dan menetap di Sanawar, India pada usia 11, kehidupan Malini berpusar pada jalan eklektis yang penuh dengan hiperbola konstan. Sifatnya yang tidak pernah mau tunduk pada satu otoritas terlalu lama membuat Malini pernah melarikan diri dari sekolah. Tujuannya adalah New York – untuk belajar Fashion Merchandising di FIT dan kembali ke India pada tahun 1990. Itu adalah sebuah era ketika India tengah mengalami kebangkitan kembali kaum mudanya dan Malini terjun ke dalamnya untuk memulai perjalanan kreativitasnya sebagai seniman di segala bidang yang mungkin dijelajahinya. Dan setiap pengalaman yang telah dilaluinya meninggalkan tanda pada evolusi gaya dan rancangan Malini.

Desain fashion Malini umumnya mempertemukan dua unsur paradoks – dunia timur dan barat, bintang musik rock dan puteri India – ke dalam originalitas yang disebutnya INDIVA. Tercermin dalam antologi desainnya yang dapat Anda lihat di website pribadi Malini – Rock Star Meets Indian Princess. Selama enam tahun, terus-menerus, Malini secara khusus menerjemahkan keyakinan dirinya ke dalam karya fashion yang penuh warna-warna ringan yang melantunkan serenade matahari, laut dan pasir, necklines yang berani dan provokatif, dan aksentuasi perhiasan yang bergaya. Eksplorasi ini telah mengubah beberapa bintang Bollywood menjadi dewi cinta milenium dari India. Klien-klien Malini melenggang di jalan-jalan kota New Delhi dan Mumbai sampai Monte Carlo, Beirut dan Moskow.

Label fashion ‘Malini Ramani’ saat ini ada di empat toko yang menggunakan namanya di New Delhi, Goa, dan juga di beberapa toko terkemuka di seluruh India, seperti Ensemble di Mumbai, Ogaan di New Delhi, Sagar dan Kimaya di Mumbai, Sosas di Goa dan Evolutione di Chennai dan Bangalore. Di dunia internasional, labelnya juga bisa didapatkan di Lulu Tan Tan di Cape Town, Kimaya Dubai, Sanskrit Hong Kong, Venus Monte Carlo, Indomix New York, Indiva-Toronto, Khazana Moskow, sampai ke Miami, Seville dan Srilanka.

Dalam Jakarta Fashion Week 09/10, Malini merupakan satu dari dua wakil desainer dari India yang akan bekerjasama dengan dua desainer terkemuka dari Indonesia dalam inisiatif pertukaran kreatifitas mode Indonesia-India. Dalam kunjungan ke Indonesia beberapa waktu lalu (1-2 Juni/09), Malini telah mengunjungi beberapa outlet batik terkemuka di Jakarta, antara lain Cita Tenun Indonesia, Allure, dan Alun-alun Grand Indonesia, untuk mengumpulkan materi yang akan menjadi bahan kreasinya.

Materi-materi yang dipilih oleh Malini umumnya adalah batik dan beberapa tenunan yang memiliki warna-warna meriah. Malini sendiri mengatakan bahwa ia ingin agar desain yang dikerjakannya nanti akan menjadi kreasi fashion yang penuh warna, tetap mempertahankan eksotismenya, namun mengalami revitalisasi, terkesan lebih muda dan energik.

Note: Ini juga sebuah eksperimen jurnalisme multimedia yang saya coba lakukan minggu lalu. Belum sempurna benar karena belum memasukkan elemen suara dan teks untuk bisa dibilang karya multimedia yang lengkap. Video yang ditampilkan merupakan potongan-potongan momen yang saya rekam dengan fitur video recorder pada kamera saku Canon IXUS 65. Video ini dibuat dengan menggunakan program iMovie pada Macbook. Saya sendiri baru pertama kali ini mengenal dan menggunakan program tersebut. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 60 menit untuk membuat video seperti di bawah ini.

Malini video

Reblog this post [with Zemanta]

Tarun Tahiliani: Memadukan Batik dengan Identitas India

9 Jun

BILA tekstil dan fashion India menjadi lebih dikenal oleh dunia internasional, Tarun Tahiliani adalah salah satu desainer terkemuka India yang berjasa dalam hal itu. Dengan bakatnya, Tarun Tahiliani telah mengubah tekstil dan teknik fashion India ke dalam bentuk dan struktur yang lebih modern dan inovatif sehingga melahirkan karya fashion yang lebih kontemporer. Desain fashion Tarun dikenal memiliki ciri high fashion dan memiliki sensibilitas murni yang tanpa cela, dengan gaya, keahlian, kualitas dan kehalusan yang prima.
tarun1
Desainer terkemuka India yang pada tahun 80-an pernah bekerja di perusahaan keluarganya ini, -menjual peralatan pengeboran minyak -, mencipta kreasi originalnya dari perenungan tentang situasi India pascakolonial, kebangkitan kembali sosialisme dan sebuah identitas baru….definisi baru menjadi seorang India. Pencarian identitas tersebut membawa Tarun pada titik awal penyelidikan ke dalam dirinya sendiri, ke dalam akarnya dan lahir kembali dengan identitas baru yang lebur jadi satu. Itu adalah waktu lahirnya Ensemble – gagasan yang menjadi pendorongnya untuk bertindak sebagai katalisator bagi desainer fashion di luar India.

Ensemble merupakan toko multimerek pertama yang mendorong retail ke standard internasional. Gagasan tersebut mendesak perancang fashion India untuk tidak mengkhawatirkan apa yang dituntut oleh label-label asing dan juga mendesak mereka untuk mulai menempa entitas desain non-India.

Setelah menelurkan gagasan tersebut, Tarun kembali belajar di Fashion Institute of Technology, New York. Kembali ke India, pada tahun 1995, Tarun mendirikan studio di New Delhi, kota yang menurut Tarun adalah pusat fashion India.

Rancangan fashion desainer yang pernah belajar bisnis di di Wharton School of Business, University of Pennsylvania, ini adalah konsep yang melibatkan lingkaran kegembiraan yang dimotivasi oleh kecintaannya pada desain, pada segala sesuatu yang indah. Rancangannya menonjolkan pada unsur elegan, paduan warna yang mapan, dan berkelas.

Di sela-sela kunjungan ke Cita Tenun Indonesia, Allure, dan Alun-Alun Grand Indonesia (1-2 Juni 2009), Tarun mempertegas pilihan untuk mencipta karya-karya fashion yang elegan dan berkelas dengan menjatuhkan pilihan pada kain tenun dan batik dengan warna-warna yang tajam dan menonjolkan kemapanan bagi orang yang mengenakannya. Tinggal kita menunggu bagaimana corak batik dan kain tenun Indonesia berpadu dengan identitas India di tangan Tarun. Pastinya sesuatu yang memang layak ditunggu.

Note: Ini juga sebuah eksperimen jurnalisme multimedia yang saya coba lakukan minggu lalu. Belum sempurna benar karena belum memasukkan elemen suara dan teks untuk bisa dibilang karya multimedia yang lengkap. Video yang ditampilkan merupakan potongan-potongan momen yang saya rekam dengan fitur video recorder pada kamera saku Canon IXUS 65. Video ini dibuat dengan menggunakan program iMovie pada Macbook. Saya sendiri baru pertama kali ini mengenal dan menggunakan program tersebut. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 60 menit untuk membuat video seperti di bawah ini.

Reblog this post [with Zemanta]

Fashion Show di Kediaman Duta Besar India

9 Jun

SELASA malam kemarin (2 Juni 2009), di kediaman Duta Besar India Biren Nanda, berlangsung sebuah pesta kecil yang diadakan untuk memperkenalkan Tarun Tahiliani dan Malini Ramani kepada publik Indonesia. Pesta ini sekaligus merupakan penyambutan atas kedatangan kedua desainer top dari India tersebut ke Indonesia dalam rangka mencari bahan kain untuk karya mereka yang akan ditampilkan dalam sebuah fashion show yang diadakan oleh Majalah Dewi (Femina Group) pada malam pembukaan Festival Mode Indonesia- Jakarta Fashion Week (FMI-JFW) 09/10 pada tanggal 11 November nanti di Pacific Place, Jakarta.
DSC_1567
Selain kesempatan untuk bertemu muka dengan dua desainer India, pesta kecil di rumah kediaman duta besar India tersebut juga dimeriahkan dengan fashion show koleksi karya dua desainer tersebut. Fashion show yang diadakan dalam kerjasama dengan Majalah Dewi ini dan menggunakan sebagian dari ruang dalam rumah duta besar India sampai ke area taman sebagai catwalknya ini menawarkan warna India kepada komunitas India di Indonesia dan pecinta fashion Indonesia.

Note: Ini adalah eksperimen jurnalisme multimedia yang saya coba lakukan minggu lalu. Belum sempurna benar karena belum memasukkan elemen suara dan teks untuk bisa dibilang karya multimedia yang lengkap. Video yang ditampilkan menggunakan foto-foto hasil jepretan Paulinus (Sipe) sebagai materi pokok. Video ini dibuat dengan menggunakan program Windows Media Maker. Saya sendiri baru pertama kali ini mengenal dan menggunakan program tersebut. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 30-60 menit untuk membuat video seperti di bawah ini.

Reblog this post [with Zemanta]

Why journalists should use Twitter (Nico Luchsinger)

5 Jun

80x80-curious copyWhy journalists should use Twitter (Nico Luchsinger)

Posted using ShareThisRelated articles by Zemanta

tweet

Reblog this post [with Zemanta]

Wolfram Alpha for journalists

5 Jun

wolfram-alpha-diagram
Wolfram Alpha for journalists

Posted using ShareThisRelated articles by Zemanta

Reblog this post [with Zemanta]